Wajah dibalik jendela

Tepat pukul 5:45 sore, sambil menatap jam dinding kuno di atasnya, Kondektur tua bermuka masam di stasiun Hualamphong, Bangkok, yang sedang melambaikan bendera merah. Di iringi jerit peluit, Eastern & Oriental Express. pelan-pelan beringsut menuju Singapura.
Aku berkerumun bersama penumpang lain di gerbang terbuka di ujung belakang kereta, lalu perlahan mulai melambaikan tangan kepada Chicco dan Lang To. Kedua pria itu balas melambai dengan senyum yang samar-samar mulai menghilang, karena kereta yang ku tumpangi mulai bergerak pelan meninggalkan kota menuju Kancahaburi, di bagian barat Thailand, Meluncur memasuki senja.
Setelah itu aku beranjak menuju kabin Superior – yang adalah kamar-kamar berukuran hampir enam meter persegi, desain sangat sederhana tetapi nyaman dan bermutu tinggi. Aku memasukan koper ke dalam tempat penyimpanan koper.
Untung Lang To memilih suite presidential untukku jadi aku bisa berbaring dan beristirahat di ruangan duduk yang dapat di pugar menjadi tempat tidur. Dan aku merebahkan kepala di atas kasur dan terlelap.
Ketika aku bangun, seburat cahaya senja yang terakhir menyusup dari langit, itu artinya aku cuma tidur beberapa menit saja. Aku beranjak ke westafel dan membasuh wajahku dengan air. Aku akan bersiap-siap untuk makan malam.
Seorang pramugara menghampiriku, meminta izin agar diperkenankan membersihkan kabin ku, serta bertanya apa ada yang membuatku merasa tidak nyaman?
“Tidak. Semuanya tampak luar biasa dan aku sungguh menikmati perjalanan ini,” Kataku sembari tersenyum. Pria itu bercerita panjang lebar tentang silsilah kereta yang selalu ku tumpangi bila ingin keluar kota, kereta yang di kenal dengan nama “RATU KERETA ASIA”. Pria itu mengaku telah hampir 15 tahun bekerja untuk kereta ini.
“Kau butuh teman untuk makan malam di gerbong bar? aku bisa menyuruh anakku menemanimu.” Tawar Pria Thai itu yang sedang membereskan lemari pakaianKu.
Aku tersenyum kecil sambil mengeleng. “Tidak perlu, Pater. Aku pikir itu akan menganggu pekerjaannya,” Jawabku yang masih membasuh wajah dengan handuk.
Kudengar tawa Pater mengelegar keras. Katanya, “Putraku termasuk penumpang biasa, ia harus kembali ke Singapura untuk belajar karena masa liburan telah berakhir,” Tuturnya. “Kau tahu? Dia anak lelaki yang tangguh, ia mampu hidup seorang diri di Singapura.” Lanjutnya dengan wajah ceria.
Perlahan kusisir rambutku, aku mangut-mangut saja, mengerti akan cerita Pater. Aku tersenyum ke arahnya lalu berkata, “Siapa namanya? Mahasiswa ya? aku pun sedang menghabiskan masa liburan di Thailand dan sekarang kembali ke Singapura untuk membereskan tugas-tugas sekolahku.” Ujarku panjang lebar. Aku duduk di sofa bersama Pater yang menduduki sofa di sampingku.
“Jirayu baru tingkat tiga senior high skhool. Kau pun demikian, nak?”
“Jirayu? ya, aku pun demikian.”
Pater tersenyum dan menyuruhku segera menuju gerbong bar. Aku agak kecewa tak dapat kesempatan mendengar cerita selanjutnya tentang putranya, Jirayu.
Aku segera meninggalkan kabinku dan Pater – yang selalu berjaga 24 jam di kabinku. Aku memasuki gerbong bar hanya untuk mendapatkan minuman yang diracik dengan sempurna dan setidaknya mendapat teman makan. Setelah aku berhasil mendapatkan sebuah meja kosong, seorang Pramusaji wanita menawarkanku minuman yang di bawanya, tetapi disaat aku ingin mengambil gelas minuman itu, sebuah tangan lebih dulu mengambilnya.
“Pergilah.” Kata Pria bertopi Bisbol yang mengambil minumanku kepada Pramusaji itu. Lalu pria itu membalikkan badannya menghadap ke arahku, ia menatapku yang nampak sangat kesal.
“Tidak baik gadis sepertimu meminum minuman ini.” Katanya dan hendak meninggalkanku.
“Heh? Memangnya kau siapa?,” Tanyaku dengan nada suara sinis. Sayangnya pria itu tak sedikitpun mendengar teriakan ku, karena ia lebih dulu menghilang dari hadapanku.
Aku mengumpat-umpat dalam hati. Pria itu sungguh tak sopan, Sudah mengambil minumanku namun tak sedikitpun mencoba meminta maaf.
Dengan perasaan marah, aku memasuki ruang makan Rosaine dan memesan makan malam. Aku duduk sendiri di sebuah meja di sudut ruang makan itu. Tak beberapa lama seorang Pramusaji membawa sepiring souffel keju kambing dengan asparegus dan sup kari Thai yang lembut. Aku melahap santapan malam ini tanpa peduli dan berharap seseorang datang dan menawarkan diri menjadi teman makanku malam ini.
Selesai makan, aku lebih dulu bergegas pergi dan membayar makananku. Niatku ingin kembali ke kabinku untuk tidur saat itu juga akhirnya batal, ketika aku menyadari ada seorang pria yang menatapku dari balik jendela gerbong bar. Aku menghentikan langkahku, mengarahkan pandanganku ke arah wajah di balik jendela itu namun wajah itu tak terlihat jelas olehku karena pria itu memakai topi coboy besar yang menutup sebagian wajahnya.
Aku menghela nafas panjang sembari beranjak meninggalkan gerbong bar menuju kabinku.
Aku tertidur pulas setelah Pater selesai menyiapkan tempat tidurku.
Pancaran sinar matahari membangunkanku. Aku menerjab-nerjab mata agar memulihkan keadaanku, samar-samar aku mendapati seseorang berdiri tak jauh dari tempat aku terbaring, ia berdiri di samping sofa dan memandang jauh dari balik jendela. Aku menerjab mataku sekali lagi, memastikan penglihatanku namun aku yakin apa yang aku lihat benar. Jarak antara aku dan pria itu tak jauh sedikitpun.
Aku menghela nafas berat, jantungku berpacu lebih cepat karena mulai merasa was-was akan bahaya. Siapa pria ini? dan…. Ya Tuhan! ia memakai topi coboy seperti pria di balik jendela semalam.
“Shawn, kau sudah bangun?” Tanya seseorang dari arah pintu kabin. Aku ingat suara itu, itu suara Pater. Kepalaku dengan cepat menoleh ke arah asal suara itu dan ingin segera bertanya, siapa pria yang bisa memasuki kabinku tanpa persetujuan dariku.
“Ada apa, Shawn? apa tidurmu terganggu?” Tanya Pater setelah benar-benar berada di hadapanku.
“Itu siapa, Pet,” Perkataanku sumbang ketika berbalik dan tak mendapati sosok pria misterius itu di balik jendela. Kepalaku mengeleng tak percaya. “Kemana Pria itu, Pater? ia tadi berdiri disitu.” Lanjutku tampak shock sembari menunjuk jendela. Pater-pun mengalihkan pandangannya ke arah jendela.
“Pria siapa, Shawn? tak ada siapapun di kabin ini selain kau dan aku yang tetap berjaga.” Jelasnya. Aku semakin shock mendengar penjelasan itu, aku meringsut dan bersandar pada bantal.
“Pria bertopi, Pater. Ia-Ia,” Aku terbata-bata. dan terdiam sembari menatap Pater, kosong.
“Shawn, apa tidak sebaiknya kau mandi? Kata Pater mencoba mengalihkan perhatianku.
Aku menghembuskan nafas lalu beranjak pergi.
“Berapa lama baru sampai pada pemberhentian selanjutnya?”
“Sekitar jam 02 siang, nak. Kita akan tiba di stasiun Malasya, setelah itu kereta kita akan segera menuju Singapura. Mengapa Shawn?”
“Aku ingin cepat sampai.”
“Kau akan mengganti kabinmu?”
“Oh, hm… sepertinya tidak, Pater. Aku mandi dulu.”
Siapa pria itu? mengapa ia selalu berdiri di bawah jendela? Berjuta pertanyaan menerobos pikiranku tentang pria bertopi coboy itu. Saat ini aku tengah duduk di tempat tidur dan menikmati cokelat panas yang di bawa oleh Pater.
Aku meletakkan coklat panasku di atas meja rias, melangkah meninggalakan kabin. Dimana Pater? Batinku ketika tak mendapati Pria itu di kabin. Tanpa menghiraukan keadaan ramai di sekitarku, aku melangkahkan kaki menuju gerbong terakhir- Gerbong terbuka yang dirancang untuk menikmati panorama, gerbong itu tetap terlihat mewah karena panel-panel kuningan dan kayu jati dari Myanmar berhias di sisi-sisi gerbong.
Angin yang berhembus pelan di depan wajahku tiba-tiba saja berbau parfum SB E au de Toilette, aku sesegera mungkin menoleh ke samping dan betapa terkejutnya aku mendapati pria bertopi coboy itu berdiri di sampingku dan MENATAPKU! Aku sedikit mengeser tubuhku menjauh dari pria itu, tetapi ia malah dengan gesitnya mendekat. Aku memaki-maki keadaan sepi gerbong terakhir saat ini. Kalau saja ramai, pasti pria ini tak berani bergeser sedikitpun dari tempatnya berdiri.
Nafasku hampir putus saat menyadari bahwa wajah pria itu sudah tepat di depan wajahku, Bahkan bau tubuhnya dapat ku cium. Kini aku benar-benar terjebak, posisiku saat ini terbentur jendela, bahkan kini aku tak mampu bergerak oleh karena tubuh gagah pria itu menghalangiku. Wajahku mulai memucat – pastinya -, tubuhku pun mulai bergetar hebat. Kini aku telah pasrah jika pria ini melakukan sesuatu padaku.
Namun cukup lama pria itu berdiri di hadapanku, menatapku dan tak mencoba berkutik sedikit dari tempatnya. Aku hampir mati karena ia masih menatapku penuh misteri.
Terdengar suara lagak tawa. Tawa yang memecahkan ketakutanku. Dan pria itu- Pria yang ada di hadapankulah yang tertawa. Perlahan ia pun menjauh dariku masih sambil tertawa.
Keningku berkerut yang membuat kedua mataku semakin menyipit. Mengapa pria itu tertawa? Tetapi aku harus memanfaatkan kekosongan ini untuk kabur.
“Shawn, kau tak perlu setakut itu. Aku bukan pembunuh bayaran atau kanibal.”
Mendengar suara pria itu, aku mengurumg niatku. Aku berbalik, menatap pria itu dengan penuh tanda tanya.
“Siapa kau? kau tahu namaku? apa kita pernah bertemu? aku berpikir kau seorang pemerk*sa atau penguntit bahkan aku berpikir kau bayang-bayang orang mati.” Celetukku sembari menatap pria itu dengan pandangan curiga.
Pria itu melepas topi coboynya dan ia kembali tertawa. Semenit berlalu aku pun bisa melihat sosok pria itu – sosok yang baik hati.
“Kau pikir aku mayat hidup, apa?” Tawanya lagi sembari melangkah lebih jauh lagi. “Aku tahu, kau tak mengenaliku.” Katanya.
Aku menganguk sedih. Kembali ku lihat pemandangan, pria itu berhenti tertawa dan ia kembali terdiam.
“Chicco menelponku semalam, ia menanyakan keadaanmu karena ponselmu susah dihubungi. Aku menuju kabinmu dan minta izin menengokmu tetapi rupanya aku ketiduran disana, dan bangun setelah Ayah membagunkanmu.” Tuturnya memulai penjelasan.
Aku memandang pria itu penuh kekagetan. Pria itu balas menatapku dan sama-sama terdiam.
“Jadi kau nyata?” Tanyaku ragu.
Pria itu tersenyum. katanya, “Tentu saja. Apa perlu kau menyentuh tanganku?” Tanyanya antusisas. Namun aku segera mengeleng, kembali menyibukan diri dengan panorama alam.
“Aku Jirayu teman Chicco, Kakakmu. Dulu sewaktu di Bangkok, ia selalu menceritakan tentangmu – Jika ada kesempatan, itu dulu sekali saat kita masih duduk di bangku junior high school,” Akunya tersenyum penuh arti. Aku mulai tertarik mendengar ceritanya, tampak serius mendengarkan ceritanya. “Dua minggu yang lalu kau berlibur ke Bangkok namun aku tak sempat berkunjung, karena sibuk di sawah.” Lanjutnya lagi.
“Kau Putra Pater?,” Aku mendekat ke arahnya, agar kami lebih leluasa berbicara. “Lalu bagaimana kau bisa mengenaliku.” Tanyaku penasaran.
Ia tertawa. Katanya, “Dulu, sebelum kau kembali ke Bangkok, aku mencuri banyak fotomu dari albumn keluarga atau dari kamar Chicco. Foto-foto itu aku tempelkan di balik jendela- setiap jendela kamarku, dan setiap pagi aku pasti menatapnya sehingga aku tak punya sedikit pun kesulitan mengenali wajahmu. Lagian sebelum kereta kita berangkat kemarin, aku sempat bertemu Chicco dan ia menunjuk kau yang sedang berdiri bersama Lang.” Tuturnya. Aku menatap kagum padanya. Yang benar saja?
“Tapi untuk apa kau melakukan itu semua? bukan itu hanya membuatmu jenuh atau bahkan dianggap psikopat oleh orang-orang?” Tanyaku.
“Sudah enam tahun aku melakukan hal itu, hingga rasanya itu telah menjadi bagian dari hidupku. Bahkan kemanapun aku pergi, aku seperti merasa bahwa foto-fotomu tertempel-tempel di jendela-jendela,”
Aku melonggo tak percaya. “Kau pria yang tangguh,”
“Kau tahu, aku menyukaimu? Mungkin karena sering mendengar tentang dirimu dan itulah yang membuatku menyukaimu tanpa mengenali fisikmu tetapi tentu saja aku telah lebih dulu mengenal pribadi dan duniamu.”
Bersambung…
Cerpen Karangan: Bunga Salju
Facebook: Bunga salju ( Kenni’e woonds)
Blog: Izumic.blogspot.com
Sudah pernah terbit online di situs CERPENMU.COM

Comments

Popular Posts